Islam Nusantara: Akulturasi Islam Dan Budaya Lokal
Islam Nusantara: Akulturasi Islam Dan Budaya Lokal
Sumber Gambar: Lampung.co |
Berbicara
mengenai Islam Nusantara, masih menimbulkan sedikit kejanggalan bagi khalayak
sekitar. Terutama tentang asimilasi Islam dengan budaya lokal di bumi
Nusantara. Semisal, wayang kulit, larangan menyembelih sapi di Kudus dan
tradisi-tradisi mistis. Sebenarnya, Islam dan budaya memiliki makna
masing-masing dan tidak dapat dilebur satu sama lain. Islam adalah nilai atau
sistem dari Tuhan, sedangkan budaya adalah nilai kehidupan dari hasil representasi
lelakon manusia. Sejauh yang diketahui, akulturasi Islam dengan buadaya hanya
dapat direalisasikan dengan konsep "al-Adah Muhakkamah". Jika budaya
dan syari'at Islam mengalami pertentangan yang berkaitan dengan hukum, maka
yang didahulukan adalah syari'at Islam.
اذا تعارض
الشرع وعرف الاستعمال فيقدم الشرع على العرف
Nyatanya, orang-orang
berasumsi bahwa sepertinya para ulama’ Nusantara terdahulu lebih mengutamakan
budaya daripada syari'at Islam, dalam perihal penyebaran Islam. Seperti,
larangan menyembelih sapi di daerah Kudus yang padahal Islam memandang
boleh-boleh saja untuk melakukannya, menggunakan dan berpegangan seni musik
yang padahal syari'at melarangnya, dan menggunakan wayang yang sepertinya
menerobos larangan syari'at mengenai gambar manusia dan hewan. Menurut para
pengamat, fenomena demikian adalah gaya dakwah dengan mengggunakan tata cara
yang bathil. Dalam pikiran nakal, mungkin saja akan berkelanjutan ditemukannya
seseorang yang shalat dengan bacaan bahasa jawa. Seperti yang telah ditemukan pembacaan
tawassul dengan bahasa jawa di daerah Blitar.
Di samping itu,
model dan istilah Islam Nusantara terkesan membuang ciri khas nilai Islam sendiri. Islam
adalah agama yang universal, yakni menyeluruh lil 'alamin, bukan tertentu hanya
pada satu daerah seperti agama sebelum Islam. Disetujuinya model Islam
Nusantara, seakan Islam yang benar adalah hanya yang bermodel Nusantara. Buktinya,
kalangan pribumi Nusantara bersikap saru
dengan wajah Islam yang berlawanan dengan model Islam Nusantara.
Lebih tepatnya,
maksud wajah Islam Nusantara adalah karakter ajaran Islam yang dibawa oleh
walisongo. Memang, banyak yang menyebutnya pembaharuan Islam dan sebuah model
Islam yang telah terkontiminasi dengan budaya. Bahkan, Islam yang demikian
secara ekplisit dianggap Islam yang tidak murni. Alasan mereka menstigma
demikian ialah bahwa ajaran-ajarannya yang terlihat di mata berlainan dengan
ajaran di era Rasulullah SAW.
Namun,
sebenarnya model Islam Nusantara merupakan model Islam yang diseleralaskan
dengan budaya yang telah dahulu mengental di sebuah daerah dan selanjutnya
difilter dengan masuknya nilai-nilai ke-Islaman. Budaya atau adat sendiri
terhitung sebagai salah satu yang masuk dalam tatanan syari’ah. Sehingga,
ajaran Islam yang telah selaras dengan budaya, tidak bermasalah selagi pengaruh
budayanya tidak begitu merusak aturan syari’ah yang murni. Karenanya, ada
kaedah yang berbunyi:
العادة محكمة
Di masa
Rasulullah SAW pula, budaya telah mendiami terlebih dahulu sebelum kelahiran
Islam bersama Rasul SAW. Diterangkan dalam hadits yang berbunyi:
خياركم في الجاهلية خياركم في الاسلام
“Segala fenomena yang terpilih di masa Jahiliah, maka di
masa Islam masih dipergunakan.”
Hadits ini
menegaskan bahwa orang-orang yang terpilih, yakni yang memiliki kepribadian
mulia, akan tetap terpilih di masa ke-Islaman, meskipun ia hidup di masa
Jahiliah. Maka, jika dianalisis, masuknya Islam akan tetap melestarikan segala
buday yang masih dianggap baik oleh kacamata Islam.
Pada
hadits di atas, terdapat indikasi bahwa budaya yang lebih
dulu mengental sebelum masuknya Islam masih ada yang dipergunakan atau tidak
dimusnahkan. Akan tetapi budaya tersebut adalah beberapa budaya yang telah
difilter oleh nilai ke-Islaman, tidak semua budaya masih utuh. Seperti halnya
model dakwah walisongo yang tidak membuang budaya dari daerah dakwah mereka.
Ada beberapa
budaya yang masih dilestarikan, bahkan berguna sebagai pendekatan, setelah
melalui filter oleh sisipan nilai-nilai ke-Islaman. Sehingga, dapat dinyatakan
bahwa roh Islam masih terlihat di sana, meskipun model dan bentuknya berbeda
dari masa Rasulullah SAW. Memang, budaya atau adat lebih dulu mendiami suatu
daerah, hanya saja Islam muncul untuk berperan mengesahkan dan melegalkan
budaya yang masih diperlukan, serta memfilter segala budaya yang buruk. Contoh
kecil di kehidupan Rasulullah SAW, puasa ‘asyura’ yang sebenarnya adalah
ritual orang-orang yahudi sebagai perayaan mereka terhadap hari selamatnya nabi
Musa dari Fir’aun. Lalu, Rasulullah SAW melegalkan puasa ini sebagai puasa
sunnah bagi umatnya dan menambahkannya dengan puasa tasu’a.
Dalam
ayat-ayat Al-Qur’an, mengapa berpola kata jannah, surga selalu diiringi
atau seakan ditafsiri dengan kata tajri min tahtiha al-anhar,
mengalirnya sungai-sungai yang terpenuhi dengan air? Semisal:
{وَبَشِّرِ
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ
تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ} [البقرة: 25]
{قُلْ
أَؤُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرٍ مِنْ ذَلِكُمْ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ
جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا} [آل عمران: 15]
{تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ
جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا} [النساء: 13]
Fenomena
ayat-ayat ini mendorong lahirnya sebuah kesimpulan bahwa Islam datang dengan
menyelaraskan diri pada apa yang telah mentradisi di daerah yang didatanginya.
Dalam Al-Qur’an, surga digambarkan dengan aliran-aliran sungai, karena
Al-Qur’an turun di daerah yang sulit untuk menemukan air, Arab. Sehingga, surga
digambarkan dengan apa yang paling disenangi penduduk daerah di sana, yaitu
air. Bagaimana jika Al-Qur’an diturunkan di daerah Indonesia yang sudah kaya
dengan sumber air? Jadi, Allah Ta’ala tidak mungkin menurunkan nilai ke-Islaman
yang stagnan atau kaku, melainkan selalu berselaras atau berakulturasi dengan
tradisi atau kesenangan di sana, dengan pendekatan sosiologi atau simbol budaya
dan tradisi yang melekat. Agar, nilai ke-Islaman lebih disambut dan diterima
dengan senang hati.
Melihat
titik merah dalam model Islam Nusantara, pastinya yang menjadi pembahasan ialah
perihal produk akulturasi bukan asimilasi. Keduanya nampaknya terlihat persis,
namun berbeda. Asimilasi adalah peleburan dua zat yang selanjutnya menjadi satu
zat yang baru. Maka, produk asimilasi Islam dengan budaya lokal adalah sebuah
agama yang baru. Sedangkan, akulturasi ialah pencampuran dua hal, namun
pencampurannya tidak mencapai taraf peleburan. Jadi, produk akulturasi Islam
dengan budaya lokal tetap menjaga keutuhan kedua format Islam dan budaya. Hanya
saja, keduanya ini saling menyesuaikan dan mempengaruhi. Produk akluturasi
Islam di Nusantara sendiri terdapat dua bentuk, yaitu Islam populis dan
sinkretis. Yang dianggap berjalan mulus dan mungkin sedikit dipermasalahkan
ialah Islam populis. Karena model Islam sinkretis menggambarkan format budaya
yang lebih diunggulkan dan bahkan dianggap sebagai syari’ah. Berbeda dengan
Islam populis, sebuah model Islam yang masih mengunggulkan nilai Islam daripada
budaya, hanya saja formatnya mengikuti budaya lokal. Jika dicontohkan, Islam
sinkretis seperti Islam sasak lombok yang mengajarkan shalat hanya di tiga
waktu. Islam populis seperti ajaran tahlilan yang mulanya berasal dari budaya cangkrukan
(baca: bermalaman dan melakukan hal yang tidak bermanfaat, bahkan yang
haram) setelah meninggalnya seseorang, dan kemudian isi dan nilainya diganti
dengan nilai ke-Islaman, sebagaimana yang diketahui dalam majlis tahlilan,
tanpa merobohkan bentuk formalnya sebuah budaya lokal. Memang dalam proses
akulturasi, sejatinya budaya lokal didudukkan di sub ordinasi dari Islam, bukan
Islam-lah yang tersub-ordinasi dari budaya lokal.
Iya,
landasan ilmiah Islam Nusantara sudah terverifikasi. Tetapi, bukankah Islam
adalah agama yang universal? Sepertinya, menyetujui adanya Islam Nusantara
adalah sebuah tindakan yang menyalahi Islam sebagai agama universal? Pertanyaan
ini dapat ditentang dengan pertanyaan “Islam daerah mana, yang tidak
dipengaruhi sebuah peradaban? Bahkan di zaman Rasulullah SAW pun?” sedemikian
rupa menurut pendpat al-Qardlawi.
Terdengarnya
wajah Islam Nusantara yang memberikan kesan adanya model-model Islam yang lain,
bukanlah sebuah hal yang tidak wajar, melainkan sebuah sunnatullah. Seperti,
Islam-Arab, Islam Amerika, Islam-Iran dan sebagainya. Dapat disebut, Islam
Nusantara adalah salah satu model daripada Islam sebagai agama universal. Hal
yang semacam ini karena perbedaan penafsiran mengenai nash-nash syar'i, serta
berlainannya alur pemikiran dalam memahami teks-teks syar'i. Tidak hanya itu,
berbagai budaya yang berbeda di lokasi berbeda pula yang mempengaruhi perbedaan
demikian.
Artinya,
Islam Nusantara, Islam Arab dan selainnya merupakan bagian dari format Islam
sebagai agama universal. Karena di sana, Islam menampakkan wajahnya yang
berbeda-beda untuk menyelaraskan diri dengan konteks budaya lokal.
Ke-universalannya ini dapat dilihat dari aspek dinamisnya wajah Islam mengikuti
perbedaan zaman, budaya dan sosial.
Kembali
ke persoalan akulturasi Islam dan budaya lokal, cara dakwah walisongo tidak
dapat dianggap sebuah dakwah yang bathil. Jika memang seharusnya dakwah ini
diangggap bathil, larangan menyembelih sapi akan terus berkelanjutan dan
menetap menjadi sebuah syari’at. Namun, yang dikehendaki bukan sebuah hukum
syari’at baru, melainkan hanya sebuah pendekatan mengikuti tradisi di daerah
itu, Kudus. Mungkin, ketika tradisi menghormati sapi telah terkikis, sudah
tidak ada lagi larangan tersebut. semacam inilah bentuk akulturasi, bukan
asimilasi. Jika dianalisis, metode dakwah ini sebagaimana yang dilakukan
Rasulullah SAW. Pada mulanya, ia melarang ziarah kubur, lalu dikemudian ia
memperbolehkannya. Dalam salah satu ayat Al-Qur’an, dijelaskan bahwa salah satu
metode dakwah ialah dengan seruan yang lembut, sopan dan dengan segala
pendekatan yang dapat berpengaruh bagi yang mengkonsumsinya. Sebagaimana ayat:
ادْعُ إِلَى
سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ
بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ
بِالْمُهْتَدِينَ
"Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. Al-Nahl: 125)*
*Hasil
Kajian Literasi Antar Mahasantri (Kalam)
Komunitas HIKAM
Komentar
Posting Komentar